Logo DHIS Primary Buah Batu Darul Hikam

Sekolah Islam Bandung, Primary School di Kota bandung Bandung, Darul Hikam, DHIS Primary Buah Batu


Bagaimana membangun kecerdasan emosional anak?
Published: 31 Desember 2025 08:32

“Anak yang mampu mengenali emosinya sejak kecil akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih bijak, sabar, dan percaya diri.”

 

Saat anak mulai tampak mengeluarkan emosi dan sulit mengelolanya, terkadang orang tua juga bingung apa yang harus dilakukan untuk mengajarkannya tentang berbagai emosi yang dialami. Setiap manusia yang lahir akan berkembang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga emosi hingga nantinya dewasa dan menjadi karakter yang kuat dalam hidupnya. Pembentukan karakter ini tak lepas dari perkembangan emosi yang terus berjalan sesuai dengan apa yang dirasakan dalam setiap prosesnya. Perkembangan emosi mengacu pada reaksi anak terhadap berbagai perasaan yang dialami setiap hari dan membawa pengaruh besar terhadap cara pandang menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, tingkah laku, dan menikmati hidup sebagai orang dewasa kelak.

Perkembangan emosi ini berkaitan dengan pengalaman anak dalam mengenali perasaan dan emosi yang dialami, memahami bagaimana dan mengapa sebuah hal terjadi, mengenali perasaan orang lain, dan mengembangkannya. Seiring pertumbuhan anak, perkembangan emosi anak ini juga akan semakin kompleks sesuai dengan pengalaman hidup yang didapatkannya. Untuk itulah perkembangan emosi akan menjadi hal yang sangat penting untuk kesehatan mental anak.

Kemampuan mengenali dan mengekspresikan emosi dengan baik adalah bagian dari kecerdasan emosional yang berperan dalam perkembangan sosial, akademik, dan kesejahteraan psikologis anak. Beberapa manfaat utama dari pengelolaan emosi yang baik antara lain:

  1. Meningkatkan kemampuan bersosialisasi – Anak yang memahami emosinya lebih mudah berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa.
  2. Mengurangi tantrum dan ledakan emosi – Anak belajar mengenali apa yang mereka rasakan dan bagaimana menyalurkannya tanpa perilaku agresif.
  3. Meningkatkan kepercayaan diri – Anak yang dapat mengekspresikan emosinya dengan baik akan lebih percaya diri dalam mengungkapkan pendapat dan kebutuhannya.
  4. Membantu pengambilan keputusan yang lebih baik – Anak yang mampu mengatur emosinya dapat berpikir lebih jernih dalam menyelesaikan masalah.

Namun, begitu terdapat anak-anak yang mengalami kesulitan dalam memahami dan mengekspresiakan emosinya. Anak cenderung diam atau bahkan meluapkan kekesalan tanpa terkontrol. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya :

  1. Kurangnya Kosakata. Emosi Anak-anak yang tidak terbiasa mendengar dan mengenal kata-kata untuk menggambarkan perasaannya akan kesulitan mengekspresikan emosi anak mereka dengan jelas. Jika mereka tidak tahu bahwa perasaan yang mereka alami adalah marah, kecewa, atau frustrasi, mereka mungkin hanya menangis, berteriak, atau bahkan bertindak agresif tanpa tahu cara mengungkapkannya dengan kata-kata.
  2. Lingkungan yang Tidak Mendukung. Ekspresi Emosi Jika anak tumbuh dalam lingkungan di mana emosi dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh diekspresikan—misalnya, anak laki-laki dilarang menangis atau anak perempuan dilarang marah—mereka akan kesulitan memahami bahwa semua emosi itu valid dan penting.
  3. Kurangnya Contoh dari Orang Tua. Anak-anak belajar dari melihat bagaimana orang tua mereka mengekspresikan dan mengelola emosi. Jika orang tua cenderung menekan emosi atau merespons dengan cara yang tidak sehat (seperti berteriak atau mengabaikan), anak akan meniru perilaku tersebut.
  4. Kurangnya Interaksi Sosial. Bermain dengan teman sebaya sangat membantu anak belajar tentang emosi, seperti berbagi, bergantian, dan menyelesaikan konflik. Anak yang jarang berinteraksi dengan teman atau hanya terbiasa dengan interaksi satu arah (misalnya, hanya dengan gawai) bisa kesulitan memahami perasaan orang lain dan mengekspresikan emosi anak dengan tepat.
  5. Terlalu Banyak Paparan Gawai. Penggunaan gawai yang berlebihan dapat menghambat perkembangan emosional anak. Ketika anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan layar daripada berinteraksi dengan orang lain, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar mengenali ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan nada suara dalam komunikasi langsung.

Sejak bayi, seseorang bisa mengenali emosi seperti bahagia, sedih, takut, dan marah. Lalu saat menjadi anak-anak, emosi ini pun berkembang menjadi rasa malu, terkejut, bersalah, bangga dan empati. Seiring dengan pengalamannya, emosi ini juga akan berkembang dan tiap anak berbeda pula cara penanganannya. Sebagai orang tua, Moms and Dad bisa melakukan beberapa hal untuk membangun kecerdasan emosional anak sejak dini.

  1. Ajarkan Kosakata Emosi Sejak Dini. Anak perlu mengenali dan memberi nama perasaannya agar bisa mengungkapkannya dengan baik. Gunakan kata-kata sederhana seperti senang, marah, sedih, takut, kecewa, dan terkejut. Anda juga bisa menggunakan ekspresi wajah atau gambar karakter untuk membantu mereka memahami berbagai emosi. Contoh: Saat anak kecewa karena mainannya rusak, bantu dia menyebutkan perasaannya: “Kamu merasa sedih, ya? Karena mobil mainanmu rusak.”
  2. Jadilah Pendengar yang Empatik. Ketika anak mengekspresikan emosinya, hindari langsung menghakimi atau memberikan solusi. Biarkan mereka berbicara dan rasakan bahwa Anda memahami perasaan mereka. Contoh: Jika anak pulang sekolah dengan wajah murung, tanyakan dengan lembut, “Ada yang membuatmu sedih hari ini?” dan dengarkan jawabannya tanpa menyela.
  3. Gunakan Permainan dan Cerita untuk Mengenalkan Emosi. Anak-anak belajar dengan cara yang menyenangkan. Gunakan boneka, buku cerita, atau permainan peran untuk mengenalkan berbagai jenis emosi dan cara mengekspresikannya dengan sehat. Contoh: Bacakan cerita yang menggambarkan karakter dengan berbagai emosi, lalu tanyakan kepada anak, “Menurutmu, kenapa karakter ini terlihat marah? Apa yang bisa dia lakukan untuk merasa lebih baik?”
  4. Ajarkan Cara Mengatasi Emosi Negatif. Bantu anak menemukan cara sehat untuk menenangkan diri ketika sedang marah atau sedih. Beberapa teknik yang bisa diajarkan adalah:
    • Menarik napas dalam-dalam dan menghitung hingga lima
    • Menggambar atau mewarnai untuk melampiaskan perasaan
    • Menggunakan kata-kata untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan
    • Memeluk boneka atau benda kesayangan sebagai bentuk penghiburan Contoh: Jika anak marah karena tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, ajarkan, “Kalau marah, kamu bisa tarik napas dulu supaya lebih tenang.”

 

  1. Validasi Perasaan Anak, Bukan Menyalahkan. Alih-alih berkata “Jangan nangis, itu cuma hal kecil!”, cobalah validasi perasaan anak agar mereka merasa dipahami. Contoh: Jika anak menangis karena kehilangan mainan, katakan, “Ibu tahu kamu sedih karena mainan itu hilang. Ayo kita cari bersama atau pikirkan solusinya.”
  2. Berikan Contoh yang Baik. Anak belajar dari orang tua. Jika Anda dapat mengelola emosi dengan baik, anak akan meniru pola yang sama. Contoh: Saat merasa lelah atau stres, katakan, “Ibu merasa lelah, jadi Ibu mau duduk sebentar dan minum air supaya lebih tenang.”

Dalam Islam, pengendalian emosi adalah tanda kekuatan seorang Muslim.

  • Al-Qur’an (Ali Imran: 134)

“…dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”

  • Hadis (HR. Bukhari & Muslim)

“Bukanlah orang yang kuat itu dengan bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”

Membangun kecerdasan emosional anak adalah investasi jangka panjang. Anak yang mampu mengendalikan emosinya akan tumbuh lebih bahagia, percaya diri, dan mampu berhubungan baik dengan orang lain.

Sebagai orang tua, mari mulai dari hal kecil: setiap hari tanyakan pada anak, “Bagaimana perasaanmu hari ini?”. Dengan pertanyaan sederhana itu, kita sudah membantu anak belajar mengenali dan menghargai perasaannya.